Oleh Joseph Castro, LiveScience Contributor | LiveScience.com
Perawan
Inca berusia 15 tahun yang dikorbankan 500 tahun lalu ternyata memendam
rahasia. Remaja itu sedang menderita infeksi bakteri paru-paru pada
saat kematiannya. Hal ini berdasarkan laporan para ilmuwan Rabu (25/7).
Para
peneliti sudah menganalisis protein selaput, dan bukan DNA, dari si
Perawan dan mumi Inca remaja lain yang meninggal di saat bersamaan.
Dalam
dekade terakhir, teknik DNA memang terbukti berguna untuk memecah
misteri-misteri kuno seperti bagaimana Raja Tut mati. Tetapi teknik ini
masih memiliki kekurangan, misalnya menemukan bukti bahwa parasit yang
menyebabkan malaria di sistem tubuh Raja Tut bukan berarti si Raja Mesir
ini menderita gejala-gejala malaria. Lingkungan sekitar juga dapat
merusak sampel DNA jika para peneliti tidak hati-hati.
Di
sisi lain, menganalisis sampel protein, yang bisa lebih terlindung dari
pencemaran lingkungan, memunculkan perangkat informasi yang berbeda.
"Sebagai ekspresi DNA, protein menunjukkan apa yang dihasilkan tubuh
pada saat individual diambil sampelnya, atau dalam kasus kami, pada saat
kematian," kata peneliti kasus ini Angelique Corthals, antropolog
forensik di City University of New York kepada LiveScience. Secara
khusus, protein bisa memberi informasi apakah sistem kekebalan tubuh
sedang aktif untuk melawan penyakit.
Mumi-mumi Llullaillaco
Dalam
studi mereka, Corthals and kolega-koleganya mengambil sapuan mulut dari
dari dua mumi Inca Andes, seorang anak laki-laki usia 7 tahun dan "si
Perawan", dan sampel dari jubah si anak laki-laki yang berdarah. Dua
mumi belia ini ditemukan pada 1999 dan awalnya terkubur di puncak gunung
api Argentina Llullaillaco, dengan ketinggian 6739 meter di atas
permukaan laut, setelah dikorbankan untuk ritual persembahan.
Riset-riset
lalu menemukan bahwa anak laki-laki dan gadis muda ini digemukkan dulu
sebelum persembahan. Makanan yang mereka makan adalah diet khas petani
berupa kentang dan berbagai sayur-sayuran, lalu setahun sebelum
persembahan mereka mulai diberi makanan elite seperti daging llama
kering dan tepung jagung.
Setelah dipersembahkan, suhu yang membeku secara alami mengawetkan lemak di tubuh mereka.
"Yang
saya ingin lihat adalah dari mana asal darah yang ada di pakaian mumi
dan bibir mereka," kata Corthals. "Tapi ternyata kami menemukan lebih
banyak jawaban dari yang kami perkirakan sebelumnya."
Arkeolog
juga menemukan mumi ketiga, gadis usia 6 tahun, bersama dengan dua mumi
di atas. Mumi ini tampaknya tersambar petir, sehingga sampelnya mungkin
terkontaminasi. Oleh karena itu, Corthals dan timnya tidak mengambil
sampel dari mumi ketiga ini.
Infeksi paru-paru ditemukan
Para
peneliti menggunakan teknik yang mereka sebut 'shotgun proteomic'.
Mereka menaruh sampel ke sebuah alat beranama spectrometer massa, yang
kemudian memecah sampel protein tersebut ke beberapa bagian rantai asam
amino. Sebuah perangkat lunak kemudian membandingkan bagian-bagian ini
dengan protein manusia yang sudah ada untuk menentukan, apa saja protein
yang ada di sampel. "Anda tidak bisa menggunakan teknik ini untuk
organisme yang tidak kita miliki genomnya secara lengkap," kata
Corthals.
Mereka menemukan bahwa profil Si Perawan cocok dengan
pasien pengidap infeksi pernapasan kronis. X-ray yang kemudian diambil
dari paru-parunya juga menunjukkan infeksi paru-paru. Untuk mengetahui
apakah Si Perawan memiliki sesuatu dalam tubuhnya yang mengandung
infeksi, para peneliti mengubah analisis DNA dan menemukan bukti bakteri
dari genus Mycobacterium, yang biasanya menyebabkan infeksi trakhea
pernapasan bagian atas dan tuberculosis.
Model statistik
menemukan bahwa bacterium tersebut jatuh pada kelompok penyebab TB,
meski spesiesnya belum diketahui, mungkin karena DNA-nya belum
diurutkan.
Sementara si anak laki-laki Llullaillaco tidak memiliki penyakit atau bakteri patogen.
Riset
ini menunjukkan bahwa 'shotgun proteomic' memiliki peran penting dalam
menentukan penyakit atau kematian dalam kasus arkeologi, medis, atau
kriminal. Menurut Corthal, metode ini juga mungkin bisa digunakan untuk
menentukan bakteri patogen mana yang menjadi pembunuh utama saat
beberapa infeksi terjadi bersamaan.
Kini Corthals ingin
mengetahui apakah teknik ini dapat digunakan pada sampel-sampel yang
tidak terjaga dengan baik, seperti materi tengkorak atau mumi Mesir.
Berikutnya,
teknik pengenalan protein ini akan digunakan di luar bidang arkeologi.
"Saya rasa penggunaan terbesarnya akan terjadi di bidang ilmu forensik
kriminal," kata Corthals.
Studi terbaru ini dijelaskan mendetail secara online di jurnal PLoS One.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar