|
Di Indonesia, belakangan banyak orang
keranjingan Abu Zayd. Mereka seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan
lampu "si tukang sihir". CAP ke-73 Adian Husaini,
MA
Entah nasib
apa yang menimpa Dunia Islam dan umat Islam Indonesia khususnya pada hari-hari ini. Serangan dan kritikan bertubi-tubi
terhadap Islam, Kitab Sucinya, dan umatnya bukan saja datang dari mereka yang
secara logika sepatutnya membenci dan memusuhi Islam. Tetapi, kadangkala,
serangan dan kritik itu justru dari kalangan kaum Muslim sendiri. Bahkan,
dari mereka yang mengaku sebagai intelektual Muslim dari satu organisasi
Islam tertentu.
Senin, 04 Oktober 2004, seorang yang menyebut dirinya dari “Presidium
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah” menulis artikel di Harian Republika,
dengan judul “Islam dan Pertarungan Rezim Intelektual”. Pada
umumnya, tulisan itu mendukung gagasan Nasr Hamid Abu Zayd tentang penggunaan
hermeneutika untuk al-Quran. Berikut ini kutipan sebagian artikel tersebut: “Di
mata kalangan Islam ortodoks, al-Quran adalah sabda Tuhan yang abadi. Dia
selalu ada sebagai sifat Tuhan, dan tidak pernah diciptakan, karena sifat
Tuhan adalah sesuatu yang melekat dalam diri Tuhan dan Tuhan tidak
menciptakan sifat-sifat itu. Bahwa teks abadi ini telah diwahyukan kepada
Nabi Muhammad pada abad ke-7 masyarakat Arab sama sekali tidak memiliki
kemampuan untuk menampakkan makna al-Quran, yang merupakan sebuah kitab yang
harus dibaca secara literal dan selalu benar di sepanjang masa. Akibatnya,
tidak ada tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran yang sama dengan
Bibel Hebrew dan Perjanjian Baru (New Testament).”
Jika dicermati, tulisan itu rancu, secara intelektual. Solah-olah, orang
Islam yang tidak mengikuti tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran
adalah Islam ortodoks, karena tidak mau mengikuti jejak Yahudi dan Kristen.
Jadi, yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen bukan Muslim ortodoks. Lalu,
orang Islam yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen itu disebut apa? Muslim
yang maju? Muslim yang modern? Muslim yang terbuka? Muslim yang progresif?
Atau apa? Kata ortodoks, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani “orthodoxos”,
yang artinya “having the right opinion” atau “mempunyai pendapat
yang benar”. (orthos: straight, correct). Tapi, kata ini sekarang
dipersepsikan sebagai “kolot, anti-kemajuan”, dan sejenisnya.
Diskusi tentang al-Quran, kalam Allah, dan sifat Allah telah menjadi
perdebatan sengit antara Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah. Mu’tazilah berpendapat,
bahwa al-Quran adalah makhluk, sebagai bagian dari konsep mereka tentang
penyucian Allah dari sifat tasybih, yaitu menyerupakan Dzat dan sifat Allah
dengan makhluk-Nya. Dengan demikian pemikiran khalq al-Qur’an Mu’tazilah
sebenarnya untuk memperkuat konsep tanzih yang menyangkal keberbilangan Yang
Qadim. Konsep Mu'tazilah sebenarnya merupakan respon yang menyangkal
ekstrimitas madhhab tasybih. Namun, pada akhirnya mereka juga terjebak dalam
bentuk ekstrimitas yang lain. Sebab, konsep ini telah menafikan keberadaan
sifat, ketika mereka menyatukannya dengan dzat (al-sifat ‘ainu al-dzat).
(Lihat artikel “Studi Komparatif: Konsep al-Quran Nasr Hamid dan Mu’tazilah”,
Majalah Islamia No 2).
Konsep al-Quran Mu’tazilah itu sama sekali berbeda dengan konsep al-Quran
sebagai “produk budaya” Abu Zayd. Sebab, konsep Abu Zayd, adalah konsep yang
jauh lebih ekstrim dari Mu’tazilah dan mendekati konsep kaum Kristen terhadap
Bible mereka. Dari konsep Kitab Suci sesuai Bible ini, maka akan berkembang
pula konsep penafsiran metode hermeneutika yang juga berkembang dalam tradisi
Kristen. Fenomena ini tidak kita jumpai dalam perjalanan tradisi intelektual
Mu’tazilah. Mu’tazilah tidak mengembangkan tradisi kritik teks al-Quran (naqd
al-khithab), sebagaimana dilakukan kaum Yahudi dan Kristen terhadap
Kitab Suci mereka. Masalah ini perlu ditekankan, agar kita tidak terjebak
dengan anggapan sepintas, seolah-olah pemikiran Abu Zayd tentang “textual
criticism” terhadap al-Quran adalah kelanjutan dari tradisi pemikiran di
kalangan Muslim. Dulu, di zaman Khalifah al-Ma’mun, Imam Ahmad bin Hanbal
menjadi tokoh Ahlu Sunnah yang rela dipenjara dan disiksa karena menentang
konsep Mu’tazilah yang dipaksakan penguasa.
Saat ini, seluruh umat manusia juga dipaksa oleh “penguasa dunia” (negara
adidaya) untuk menerapkan sekularisme - ideologi Nasr Hamid Abu Zayd. Sekedar
menyegarkan ingatan kita, salah satu gagasan sentral Abu Zayd yang
kontroversial adalah konsepnya tentang al-Quran, yang ia tekankan sebagai
“produk budaya”, “teks historis”, “teks linguistik”, atau “teks manusiawi”. Meskipun
tidak menafikan unsur ilahiah (divinity) al-Quran, Abu Zayd memandang teks
al-Quran sudah “memanusiawi” dan masuk dalam kerangka teks historis dan
budaya Arab. Abu Zayd masuk dalam diskursus teks, sebab sebagai hermeneut
(pengaplikasi hermeneutik) dalam interpretasi al-Quran, ia harus melakukan
“dekonstruksi” dan “deabsolutisasi” konsep al-Quran sebagai “the word of God”
(dei verbum), yang menjadi mainstream pemikiran Muslim (ahlu
sunnah). Ia tulis buku-buku yang mengupas persoalan teks dan kritik terhadapnya,
seperti “Mafhum al-Nash al-Dirasah fi Ulum al-Quran” dan “Naqd
al-Khithab al-Dini”.
Di sinilah Abu Zayd kemudian menempatkan Nabi Muhammad saw -- penerima wahyu
-- pada posisi semacam “pengarang” al-Quran. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum
al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang
Muhammad yang manusia, dan merupakan bagian dari sosial budaya dan sejarah
masyarakatnya.